Latest News

Wednesday, July 6, 2016

PAKDE MEMANG PELUPA



PAKDE MEMANG PELUPA
Pakde... sampeyan memang mudah lupa, atau sedang pura-pura lupa...??
Meski Pakde sudah lupa, tapi warga Sumatera Barat, khususnya kota Padang tentunya masih INGAT, karena mereka tidak AMNESIA.
Pilpres 2014, hampir semua (18 dari 19) kabupaten dan kota di propinsi Sumatera Barat tidak memenangkan Pakde untuk jadi Presiden RI. Total mencapai 76,9% dari warga Sumatera Barat yang tidak memilih Pakde sebagai Presiden RI.
Bahkan khusus di kota Padang, jumlah warga yang tidak nyoblos gambar Pakde mencapai 78,5%. Jadi konon inilah wilayah di Republik Indonesia yang paling "tidak menghendaki" Pakde menjadi Presiden RI.
Apa ngga ada wilayah lain yang lebih enak buat Pakde berlebaran...??
Tapi ternyata memang nasib warga di sana sungguh beruntung, karena mereka memiliki presiden yang pelupa. Benar-benar bikin iri bagi wilayah lain yang mati-matian dukung Pakde jadi Presiden, aseem tenaan....
Pakde... yang paling menyakitkan itu adalah melihat senyum TULUS Pakde kepada mereka, menyalami mereka satu persatu dengan RAMAH. Pakde benar-benar sudah melupakan bahwa mereka bukan pendukung Pakde.
Koq bisa ya Pakde jadi seperti itu...??
Mungkinkah ini hanya akibat Pakde ingin mencicipi lezatnya ketupat lebaran kalau dimakan pakai RENDANG...??
Mungkinkah ini gara-gara sifat Pakde yang sangat PEMAAF...??
Mungkinkah ini karena SUMPAH Pakde sebagai Presiden yang akan jadi pengayom bagi seluruh warga...??
Mungkinkah ini karena JIWA kepemimpinan Pakde yang menjunjung tinggi persatuan...??
Mungkinkah ini karena momen lebaran dimana Pakde benar-benar melupakan peristiwa yang tidak berkenan di masa lalu...??
Semoga... bagi warga yang hari ini salaman dengan Pakde satu persatu langsung ada rasa TERTAMPAR di pipinya dan ketika itu juga SADAR dan INSYAF.
Kalau aku ada di dekat situ, kira-kira bunyinya kayak gini: "Mak ceproot...!!" Terus aku langsung nyamber: "Lain kali jangan sembarangan NYOBLOS ya...!! ternyata sekarang kamu senang toh... punya Presiden kayak gini...?? Lain kali kalau NYOBLOS yang bener...!!"
Source : FB 

Monday, May 16, 2016

Pimpinan Masa Depan Indonesia

oleh Wimar Witoelar
Wawancara Wimar baru-baru ini dengan The New York Times berpusat pada tema ‘Pemimpin Masa Depan Indonesia. Pertanyaannya, apakah munculnya Jokowi dan nama-nama seperti Risma dan Ridwan Kamil menandakan bahwa pemimpin Indonesia sedang beralih generasi?
Pasti ini suatu tonggak sejarah, apalagi kalau Jokowi memang menang dengan pasangan yang muda pula. Tetapi tidak serta merta dapat disimpulkan, bahwa Jokowi menjadi pemimpin masa depan
 Tidak juga bisa dikatakan bahwa tokoh-tokoh muda seperti Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, dan nama-nama yang muncul di pemilu 2014 itu merupakan angkatan pemimpin Indonesia masa depan.
Lebih tepat kita melihat bahwa kemenangan Jokowi, jika itu memang terjadi, merupakan penutupan pasal politik orde baru. Apakah kita menemukan keadilan tentang peristiwa 1998? Apakah Orde Baru sudah hilang? Belum tentu. Tetapi jika Jokowi terpilih bersama pasangan orang baru, maka artinya kita sudah move on. 
Yang pasti ada kecairan baru dalam evolusi kepempimpinan bangsa. Jokowi menjadi katalisator yang mencairkan kebekuan politik. Dengan cairnya kebekuan politik itu, tokoh-tokoh lain akan muncul. Potensi terbaik belum tercatat dalam daftar nama politik 2014.
Sumber pemimpin bisa dicari di beberapa tempat. Yang pasti, dalam sistem kepartaian. Tokoh-tokoh muda dan berpikiran terbuka ada di beberapa partai. Yang nyata di PDIP ada Rieke Diah Pitaloka, Teten Masduki, Ganjar Pranowo, Budiman Sudjatmiko bahkan Pramono Anung yang lebih senior dan Maruawar Sirait. Megawati dan  rekan se angkatannya tidak akan bertahan lama sebagai kekuatan nyata. Itu baik untuk PDIP, baik untuk negara.
Tokoh muda lain ada di Partai Demokrat diluar koruptor-koruptor muda yang sangat terkenal. Ada Rachland Nashidik, Ulil Abshar-Abdalla, Anies Baswedan dan sebagainya.  Golkar lebih susah diharapkan karena Golkar justru adalah pusat kebekuan status quo politik. Nasdem memberikan harapan dengan adanya Taufik Basari dan ex-Golkar moderat. 
Kita bisa lihat partai per partai, tapi nyata bahwa partai-partai yang tidak banyak menyumbang pada pembaruan politik selama ini, sebetulnya berisi individu-individu yang bisa tampil sebagai pemimpin baru pasca Jokowi. Jokowi sendiri belum tentu bertahan sampai dua periode, karena kemenangannya berdasarkan kharisma, spontanitas dan keinginan pembaruan. Dalam hal kompetensi,visi, sofistikasi, banyak orang muda yang lebih punya kualifikasi daripada Jokowi.
Tapi partai adalah sumber utama pemimpin bary, karena paling tidak melalui partai diperolreh pengalaman politik. Kemunculan pemimpin niscaya terjadi melalui proses politik jika demokrasi kita berkembang.
Tetapi kita tidak berhenti disitu. Kita harus melihat orang-orang baik yang tidak muncul ke permukaan politik karena tersendatnya proses recruitment politik oleh kekuatan lama. Dalam lima tahun kedepan, kita akan terbebaskan dari hubungan itu. Berarti kita bisa lebih banyak melihat tokoh-tokoh lepas yang tadinya harus maju sebagai calon independen sekarang bisa memperkuat partai yang sudah ada.

Membuat partai baru tentu mungkin, partai semacam SRI, partai buruh, partai hijau, itu bisa saja. Karena kita sudah punya pemilihan presiden langsung maka tidak penting kalau calon presiden itu sendiri berasal dari partai.
Partai Demokrat menunjukkan bahwa mereka bisa mencalonkan orang yang bukan aktivis partai, bahkan bukan anggota partai. Itu suatu hal baru secara tidak sengaja bisa menjadi tradisi politik. Sumber pemimpin lain, bisa datang dari universitas, sejauh orang itu bisa bergabung dalam sistem kepartaian.
Akan tetapi yang paling menarik dan potensial adalah kemungkinan munculnya, pimpinan nasional baru dari LSM.
Menjelang Pemilu 2014 Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif WALHI Pusat, dan kawan-kawan membuka tradisi keterlibatan politik gaya baru. Melihat sejarah LSM semenjak tahun 1970-an dalam Orde Baru, ruang gerak mereka terbatas tapi kaderisasi individual itu kuat karena otomatis semua aktivis LSM digodok di kawah Chandradimuka menghadapi hambatan yang menekan dari rezim. Bahaya nyata politis dan fisik yang merupakan ciri represi rezim, menambah kemampuan dan daya survival individu-individu pimpinan LSM yang lebih kuat dari kader partai politik.

Jika selama ini tokoh LSM tidak muncul sebagai pimpinan nasional, itu karena mereka secara sukarela melepaskan kepeloporannya dan mengizinkan partai politik mengambil alih hasil perjuangan mahasiswa dan LSM yang menjatuhkan Soeharto.
Kesalahan itu rupanya disadari oleh pimpinan LSM sekarang. Karena mereka tidak melakukan engagement politik, maka yang maju dalam 15 tahun ini hanyalah civil society. LSM mampu melakukan tindakan, lebih mendapat dukungan nasional maupun internasional, dan lebih mengenal peta politik. Tetapi politiknya sendiri masih diserahkan kepada oligarkhi politik lama. Abetnego beserta kawan-kawan berusaha mengubah ini dan kelihatannya akan mempunyai hasil.

Banyak aktivis sadar, percuma berbuat baik dalam wadah LSM kalau lingkungan politik nasional tetap tidak sehat. Mengapa kekuatan LSM itu tidak juga dipakai untuk menyehatkan lingkungan politik? Dengan demikian akan terbuka masa depan baru bagi Indonesia.
LSM seperti AMAN, WALHI, dan ICW sudah mulai mengizinkan atau menganjurkan anggotanya untuk tampil sebagai calon legislatif di beberapa daerah, dan kelihatannya ada hasilnya.

Dalam lima tahun yang akan dating ini mudah-mudahan ada orang yang bisa tampil menjadi anggota  legislatif nasional atau bahkan calon presiden. Sangat menarik jika kita melihat nama-nama seperti Abdon Nababan, Abetnego Tarigan, Teten Masduki, mendampingi politisi muda yang lahir dari pergerakan reformis sebelumnya, seperti Budiman Sujatmiko, Rieke Diah Pitaloka, Faisol Reza, dan sederetan nama yang sudah matang, sudah mampu, tapi belum membuka pintu politik nasional.
Kemunculan Jokowi bisa menjadi katalisator untuk membuka akses politik pada orang-orang yang paling diharapkan untuk menuju Indonesia yang lebih baik.